Genap tiga belas tahun sudah usia si Bonar. Ia lahir di bulan Mei, menjadi siswa paling kecil di kelas VI Sekolah Dasar Negeri 001 kampung Godong Mewek. Tidak jelas mengapa pemerintah menuliskan angka tiga digit kepada satu-satunya sekolah di kampung itu. Yang jelas bangunan sekolah itu tampak lusuh, tidak pernah direnovasi sejak diresmikan tiga dasawarsa lalu. Bagian atas plafonnya dihuni oleh tikus yang menunggak uang sewa sejak awal. Pecinta margasatwa mungkin mencatatnya sebagai epitome keharmonisan manusia dengan alam sekitar. Yang pasti, nyaris purna enam tahun Bonar menghabiskan masa kecilnya di bangunan tersebut.
Kampung tempat tinggal Bonar memang terkenal sebagai daerah pengrajin tembikar. Hampir seluruh warga kampung, dari kepala kampung hingga guru sekolah, memiliki usaha tembikar yang dijalankan turun-temurun. Bahkan prakarya membuat asbak dari tanah liat dikenal sebagai tugas akhir di sekolah dasar kampung tersebut. Ya, tugas akhir untuk menentukan kelulusan siswa. Semua siswa harus membuat asbak dari tanah liat. Tidak terkecuali si Bonar yang telah gigih mengerjakannya sejak awal semester lalu. Maklum, nilai akhir ditentukan oleh seberapa mulus asbak yang dihasilkan dan seberapa tepat bocah-bocah itu menakar adonan tanah liat berdasarkan resep dari guru pembimbingnya.
Bonar menatap puas hasil karyanya yang dipampang di atas sekeping ubin yang terlepas dari lantai sekolah. Tidak terlintas di pikirannya mengapa asbak dari tanah liat yang lembek itu bisa menjadi keras setelah dipanaskan. Tanah liat itu dikumpulkannya dari desa sebelah yang terkubur tanah merah akibat bencana longsor tiga tahun lalu. Pernah suatu kali gurunya bercerita bahwa pohon Beringin dengan akar lebat bisa menahan tanah agar tidak terbawa air hujan, lalu gurunya berpaling padanya dan bertanya, “Jadi, Bonar, untuk mencegah tanah longsor karena hujan lebat kita harus menanam apa?” Bonar terdiam. Ia memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia ingat bahwa gurunya baru saja bilang bahwa akar pohon Beringin bisa menahan tanah agar tidak terbawa air hujan, tapi ia tidak paham apa hubungannya hal tersebut dengan tanah longsor. Teman-teman sekelasnya tertawa terbahak-bahak, meskipun sebenarnya tidak ada satu pun dari mereka yang tahu jawabannya. Mata pelajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika memang bukan kuliner yang populer. Bayangkan saja guru bercerita tentang fenomena listrik statis di sekolah, sementara anak-anak di rumah memompa petromax di malam hari. Petromax yang mendampingi mereka menulis rangkuman mengenai pendaratan Apollo 11 di bulan beberapa dekade silam.
Dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya yang rata-rata kurang lancar membaca, Bonar termasuk anak yang tidak bodoh-bodoh sangat. Ia menguasai aritmatika tambah-kurang, meskipun gagap di perkalian dan buta di pembagian. Sebab, di sekolahnya, kali-bagi termasuk dalam ekstrakurikuler setara pengayaan. Konon ada polemik dalam rapat dewan guru yang menuding perkalian-pembagian sebagai penyebab banyak siswa tidak naik kelas. Bahasa kekiniannya, mata pelajaran kali-bagi itu memperburuk angka lama-studi. Kali-bagi memang tidak membumi di kampung itu. Setelah lulus Sekolah Dasar, anak-anak di kampung itu sebagian besar menjadi pengrajin tembikar. Kalau ada yang memesan seratus lima puluh kendi air, warga tidak pernah kesulitan menghitung uang muka yang harus dibayar pemesan, berkat mesin hitung bertulisan CAXIO seharga dua puluh lima ribu perak–tepatnya dua puluh empat ribu perak karena di toko Oey Bok Tien, yang terletak di kota sebelah, harga barangnya bisa ditawar. Bonar pun termasuk yang terampil menggunakan mesin itu untuk membantu orang tuanya, sampai-sampai tulisan di kebanyakan tombol menjadi pudar, kecuali tulisan di tombol √. Nyaring pula suara mereka yang mendorong agar masa belia anak-anak dipusatkan untuk mengasah kemampuannya membakar tembikar, daripada mengalikan angka-angka tak jelas yang ditaburi huruf x dan y. Gayung-bersambut, muncul pula tokoh yang tegas mencontohkan bahwa dirinya bisa menjadi guru dan berprestasi meskipun tidak bisa perkalian bersusun, apalagi pembagian bertopi. Kebetulan yang bersangkutan adalah guru seni pahat dan baru saja masuk finalis 100-besar guru teladan karena tulisan rencana-pembelajaran-semesternya disukai oleh dewan juri. Dirinya adalah fakta, nyata, dan guru lain enggan mendebat fakta dengan teori.
Di kampung si Bonar, sedikit nian orang tua yang menyekolahkan anaknya ke Sekolah Menengah Pertama terdekat yang jaraknya menghabiskan tiga batang rokok ketika ditempuh dengan berjalan kaki. Alasan klisenya tentu biaya, padahal miskin-visi sangat patut dijadikan tersangka. Orang tua tidak bisa disalahkan, karena memang tidak sedikit anak yang lulus Sekolah Menengah Pertama akhirnya kembali ke kampung itu menjadi pengrajin tembikar. Tetapi Bonar berbeda. Ia takjub dengan mesin hitung yang dimainkannya dan bertekad menjadi penemu mesin hitung generasi selanjutnya. Asbak tanah liat buatan Bonar dipuji oleh gurunya. Ia dinyatakan lulus tugas akhir dan lulus Sekolah Dasar (SD). Kini si Bonar sudah memegang ijazah SD, dan ia siap menantang dunia.