Tulisan ini mengisahkan pengalaman saya mengikuti proses transfer Surat Izin Mengemudi (SIM) Indonesia ke SIM Jepang di Pusat Izin Mengemudi Moriyama, Prefektur Shiga. Tulisan ini tidak memuat teknik jitu, apalagi jurus kilat 24 jam, untuk memperoleh SIM Jepang. Memperoleh SIM Jepang terkenal sulit di kalangan orang asing, sehingga ada banyak tulisan terkait yang dapat ditelusuri dengan mudah melalui mesin pencari Google. Lagipula proses yang saya lalui di prefektur Shiga tidak mutlak sama dengan proses di prefektur lainnya. Tulisan ini hanya rekaman sepenggal cerita sebagai ungkapan terima kasih kepada keluarga, teman, dan pihak lainnya yang saya seret hingga terlibat dalam kegiatan ini.
—
Selama tujuh setengah tahun tinggal di kota Okayama, saya anggap mengendarai mobil adalah kebutuhan tersier di urutan kesekianpuluh. Bukan tanpa sebab, sepeda pancal dan kereta listrik telah memenuhi semua kebutuhan transportasi. Demikian juga ketika saya dan keluarga mulai tinggal di prefektur Shiga. Sampai ketika saya sekeluarga mengunjungi Ashikarien di Moriyama. Setelah turun dari bis, kami baru sadar bahwa bis tersebut adalah bis terakhir ke arah ini, padahal matahari masih tepat di atas kepala. Untung masih ada bis ke arah yang berlawanan. Kejadian tersebut membuat saya memutuskan untuk mengemudikan mobil di Jepang. Selama ini, SIM Jepang bagi saya hanya sebatas benda mistis yang beberapa kali muncul dalam obrolan berbau horor, tapi tidak pernah terlihat wujudnya. Pun saya tidak berupaya untuk mencari tahu wujudnya.
Bagi yang belum pernah mengemudi, cara yang paling masuk akal untuk memperoleh SIM Jepang adalah mengikuti sekolah mengemudi di Jepang. Bagi yang pernah memiliki SIM, namun SIM tersebut telah habis masa berlakunya atau tidak diakui di Jepang, maka yang bersangkutan harus mengikuti serangkaian kegiatan: ujian karimenkyoshiken (tulis dan praktek), latihan mandiri di jalan bersama pendamping, ujian honmenkyoshiken (tulis dan praktek), dan ikut pelatihan di sekolah mengemudi selama tujuh jam. Cerita lengkap mengenai ujian standar ini dapat dibaca di salah satu blog milik orang Indonesia: Fendrri. Bagi yang telah memiliki SIM dari luar yang diakui di Jepang dan belum kadaluwarsa, yang bersangkutan dapat mentransfer SIM tersebut menjadi SIM Jepang melalui proses gaimenkirikae (外面切り替え). Proses transfer ini juga melibatkan tes kelayakan, ujian tulis, dan ujian praktek, namun tidak serumit ujian standar; mungkin karena yang bersangkutan diasumsikan telah bisa mengemudi dan telah diizinkan mengemudi di negara asalnya.
Sepintas, mengikuti sekolah mengemudi adalah cara yang paling “mudah” untuk memperoleh SIM karena ujian praktek dilangsungkan oleh sekolah tersebut dan hanya ujian tulis yang dilakukan di kepolisian. Sebenarnya saya berminat untuk ikut sekolah mengemudi di Jepang karena didorong keinginan mempelajari hal-hal baru, namun sekolah tersebut membutuhkan waktu lama (durasi total 50-an jam) dan biaya yang besar (setara Rp 30-35 juta). Akhirnya saya memilih proses gaimenkirikae karena SIM Indonesia milik saya masih berlaku dan proses yang harus dilalui juga jauh lebih sederhana.
Tiada aplikasi tanpa berkas
Pengajuan proses gaimenkirikae memerlukan sejumlah berkas (daftar berkas dapat dilihat di laman Pusat Izin Mengemudi Moriyama), dan salah satunya adalah terjemahan SIM Indonesia ke dalam bahasa Jepang. Untuk membuat terjemahan tersebut, saya mendatangi kantor cabang Japan Automobile Association (JAF) di Ibaraki, Osaka. Biaya terjemahan saat itu sebesar 3000 yen. Meskipun JAF secara resmi mengatakan bahwa proses penerjemahan dapat memakan waktu hingga dua minggu, saya memperoleh terjemahan tersebut dalam waktu satu jam. JAF juga menjual buku Rules of the Road, seharga 1300 yen, yang saya gunakan untuk mempelajari rambu, aturan, dan etika berlalu-lintas di Jepang (Gambar 1). Sayangnya buku ini tidak memuat rincian mengenai ujian praktek SIM.
Karena saya tinggal di prefektur Shiga, pengajuan gaimenkirikae diawali dengan menelepon Pusat Izin Mengemudi di Moriyama. Petugas kemudian menetapkan tanggal bagi saya untuk membawa berkas-berkas ke pusat tersebut. Tanggal yang ditetapkan berjarak hampir satu bulan dari tanggal saya menelpon. Saat itu petugas juga menyampaikan ada satu lagi dokumen tambahan yang dibutuhkan, yaitu surat keterangan dari kepolisian di Indonesia bahwa SIM Indonesia yang saya miliki tersebut adalah benar dikeluarkan oleh kepolisian di Indonesia. Terdengar aneh, bukan? Alasannya karena belakangan diketahui bahwa banyak SIM palsu (entah SIM dari negara mana) yang digunakan untuk memperoleh SIM Jepang. Saya menghubungi teman di Indonesia untuk membantu pengajuannya di kepolisian kota Malang, dan alhamdulillah Polres Kota Malang menerbitkan surat yang dibutuhkan hanya dalam hitungan hari. Saya tanya mengenai biaya administrasi dari kepolisian, teman saya menjawab, “Gretong.” Saya awalnya tidak percaya, namun dijawab lagi, “Baik sudah kepolisian kita (^_^).”
Tes kelayakan dan ujian tulis
Pusat Izin Mengemudi di Moriyama terletak sangat jauh dari stasiun kereta Moriyama. Setidaknya 30 menit habis untuk duduk di dalam bis yang berangkat dari stasiun kereta. Bis yang berhenti di pusat tersebut pun hanya beroperasi sampai tengah hari. Kali pertama saya mengunjungi pusat tersebut, saya harus naik bis ke arah lain, turun di tengah-tengah, dan berjalan kaki sejauh dua kilometer. Setelah saya menyampaikan maksud kedatangan dan menyerahkan berkas ke petugas, pertanyaan pertama yang diajukan adalah bagaimana cara saya datang kemari. Ketika saya jawab menggunakan bis, petugas membalas, “Bukankah sudah tidak ada bis yang kemari?” Saya jawab, “Ya, saya naik bis, tapi turun 2 km di sana, dan berjalan kaki ke sini.” Agaknya ada sejumlah orang asing lugu yang didenda di tempat karena datang mengajukan SIM dengan mengemudikan mobil.
Tes kelayakan dilakukan dengan memeriksa berkas, menanyakan motivasi untuk mengemudi, riwayat mengemudi, dan hal-hal terkait lainnya. Salah satu syarat gaimenkirikae adalah pemohon harus bisa menunjukkan bahwa dirinya telah menetap di negara otoritas penerbit SIM sekurang-kurangnya tiga bulan. Untuk memverifikasi hal tersebut, petugas dan saya harus menelurusi satu per satu stempel imigrasi di paspor dengan menggambar garis lini masa. Belakangan ini saya kerap mengikuti konferensi di luar negeri dan halaman paspor dipenuhi oleh stempel petugas imigrasi yang tidak tertata rapi.
Setelah dinyatakan lulus tes kelayakan, satu bulan berikutnya saya datang kembali untuk ujian tulis. Dibandingkan ujian standar yang terdiri dari 50 dan 95 soal benar-salah dengan syarat lulus setidaknya 90% jawaban benar, ujian tulis pada proses gaimenkirikae hanya terdiri dari 10 soal benar-salah dengan syarat lulus 70% jawaban benar. Contoh soal ujian tulis bisa dilihat salah satunya di situs: japandriverslicense.com. Yang jelas, buku Rules of the Road yang diterbitkan JAF sangat membantu dalam menyiapkan ujian tulis. Setelah dinyatakan lulus, tanggal ujian praktek pertama kemudian ditetapkan.
Balada ujian praktek
Ujian praktek gaimenkirikae dilakukan di lintasan milik Pusat Izin Mengemudi. Ujian praktek mengemudi di jalan raya, seperti pada ujian standar, tidak perlu dilakukan. Peserta ujian mulai dengan nilai penuh, seratus, yang kemudian dikurangi berdasarkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama ujian berlangsung. Nilai minimal untuk lulus ujian adalah tujuh puluh. Ketika pertama kali melihat denah lintasan ujian (Gambar 2), saya semakin yakin bahwa sulitnya memperoleh SIM di Jepang bukan terletak pada kemahiran menyetir, melainkan etika dalam keamanan berlalu-lintas. Kesaktian mengemudi seperti Fast and Furious adalah jaminan kegagalan. Lulus ujian praktek pada percobaan pertama adalah pengecualian, bukan kewajaran. Kira-kira demikian ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan sulitnya ujian praktek untuk memperoleh SIM di Jepang. Kisah pilu adanya orang asing yang mencoba sampai tujuh kali pernah sampai di telinga saya. Yang nyata saya saksikan sendiri, karena terjadi di tempat dan waktu ujian yang sama dengan saya, memang ada peserta yang telah mengulang enam kali. Entah dia akhirnya lulus pada ujian keenam tersebut masih misteri, karena saya sudah tidak lagi datang ke tempat ujian.
Berbekal pengetahuan tentang tragedi tersebut, saya berinisiatif menelepon sekolah mengemudi Tsukinowa yang ada di kota Seta untuk menanyakan kemungkinan berlatih mobil sebagai persiapan ujian praktek. Saya berlatih selama satu jam di lintasan sekolah tersebut dengan biaya 6600 yen. Biaya tersebut sudah termasuk penggunaan mobil dan pendampingan oleh seorang instruktur. Keberadaan instruktur adalah elemen paling penting dalam latihan ini. Beliau mengingatkan bahwa bentuk genggaman tangan kiri saya ketika memutar setir ke kanan akan mengakibatkan pengurangan nilai, dan posisi kaki kiri saya yang senantiasa menyetuh pedal kopling pun akan mengakibatkan pengurangan nilai. Memastikan keamanan sisi kiri dan kanan tidak cukup dengan melirik, harus dengan menggerakkan kepala menoleh ke kiri dan ke kanan. Semuanya harus terlihat dramatis!
Pelajaran pertama adalah empat langkah untuk menggerakkan mobil ke kanan (atau ke kiri). Bukan! Bukan masalah memutar setir! Empat langkah yang dimaksud adalah (1) melihat spion tengah, (2) menyalakan lampu sen, (3) melihat spion samping, dan (4) memastikan titik buta (blind spot) dengan mata sendiri. Ingat, langkah (1), (3), dan (4) tidak boleh hanya dengan lirikan mata, harus dramatis! Gagal mendemonstrasikan empat langkah tersebut akan mengakibatkan pengurangan nilai. Silahkan lihat Gambar 3 di bawah untuk lebih jelasnya. Saya protes dan mempertanyakan kegunaan langkah ke-(4), selain juga karena resiko tidak melihat ke depan meskipun sesaat. Instruktur langsung menjawab tegas, “Ada gunanya! Memastikan yang tidak terlihat karena titik buta.”
Pelajaran selanjutnya adalah menghindari mobil yang berhenti di pinggir jalan. Indonesia tidak pernah kekurangan orang kaya-harta-miskin-akhlak yang memarkir mobilnya di pinggir jalan umum dua-arah yang sempit, jadi menghindari mobil di pinggir jalan adalah santapan sehari-hari. Beres? Tidak juga. Di sini, untuk menghindari mobil di pinggir jalan, empat langkah di Gambar 3 harus diulangi sebanyak dua kali: empat langkah untuk keluar dari jalur normal dan menghindar, empat langkah untuk kembali ke jalur normal. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 4 di bawah.
Perjalanan di lintasan latihan diisi dengan berbagai instruksi dan juga obrolan. Beliau bercerita mengenai sulitnya ujian bagi orang asing yang di negaranya terbiasa mengemudi di lajur kanan, sampai-sampai ada yang menyerah lalu masuk sekolah mengemudi. Mengobrol dengan warga senior Jepang kerap merupakan hal menarik bagi saya. Meskipun hanya satu jam, ada banyak hal-hal baru yang saya peroleh dari penjelasan beliau, sehingga saya sangat merekomendasikan latihan serupa bagi mereka yang akan mengikuti ujian praktek gaimenkirikae. Di akhir sesi latihan, beliau menanyakan kesiapan saya menghadapi ujian praktek yang akan dilakukan esok hari. Saya jawab, “おかげさまで、自信が無くなりました” (berkat anda, rasa percaya diri saya menjadi hilang), dan beliau tertawa terbahak-bahak.
Saat ujian praktek pertama kali, saya gagal di rambu berhenti sesaat (止まれ). Rambu ini mengisyaratkan pengemudi untuk menghentikan mobil, diam sesaat menoleh kanan-kiri untuk memastikan keamanan jalan, meskipun kita yakin tidak ada makhluk di sekitar daerah tersebut. Sebelum ujian praktek, sebenarnya saya menyempatkan diri berjalan kaki mengitari lintasan ujian. Saat itu berkali-kali saya mengingatkan diri untuk berhenti di titik tempat rambu tersebut berdiri, karena saya belum pernah menjumpai rambu serupa selama mengemudi di Indonesia. Lain ketika berjalan kaki, lain pula ketika duduk di dalam mobil bersama dua orang polisi yang bertindak sebagai penguji. Dosen penguji bisa digiring dalam obrolan ringan untuk mencairkan suasana, atau bahkan diberi sesajen (yang boleh jadi difortifikasi dengan secuil obat tidur); sedangkan ini adalah polisi Jepang. Rasa gugup tak terhindarkan, meskipun rambu tersebut sudah terlihat sejak awal, saya terlambat menyadari maknanya. Rem diinjak keras, tetapi ujung mobil telah melewati garis rambu. Polisi di kursi samping dengan ramah mempersilahkan saya untuk mengemudikan mobil kembali ke garis start, artinya ujian dihentikan dan saya langsung dinyatakan gagal. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat ujian dihentikan di tengah jalan:
- Menyetir di lajur kanan
- Melanggar lampu lalu-lintas
- Melanggar rambu lalu-lintas, seperti yang terjadi di atas
- Tidak berhenti ketika ban menabrak batas jalan
- Mengganggu jalannya kendaraan lain
Tibalah bagian yang membuat frustasi, yaitu ujian ulang hanya bisa dilakukan satu bulan berikutnya. Agaknya tidak ada interval yang pasti, tergantung jumlah peserta ujian yang juga tengah mengantri. Terlebih lagi, saya baru pindah ke prefektur Shiga, sedangkan tempat saya beraktivitas adalah di Osaka, sehingga tidak ada kenalan dekat orang Jepang yang dengan mudah bisa saya repotkan untuk mendampingi saya berlatih di lintasan ujian Moriyama. Akibatnya, waktu menunggu tidak pernah diisi dengan latihan menyetir.
Ujian praktek kedua dilakukan dengan rute yang berbeda dari ujian pertama, namun saya berhasil menyelesaikannya tanpa kendala. Setelah mesin mobil dimatikan, polisi di samping saya memberikan sedikit “nasehat” (アドバイス). Di tempat ujian Moriyama, peserta tidak diberitahu mengenai nilai akhir maupun daftar dosa yang menyebabkannya dinyatakan gagal. Oleh karena itu, nasehat tersebut saya artikan sebagai kesalahan-kesalahan yang telah saya lakukan. Pertama, bentuk genggaman tangan kiri saya ketika memutar setir ke kanan tidak diperbolehkan (lihat Gambar 5). Ini persis seperti yang diingatkan oleh instruktur mengemudi di sekolah Tsukinowa. Yang kedua, dan saya menganggap ini fatal, adalah saya tidak menyalakan lampu sen kanan maupun menoleh kanan-kiri ketika mulai menjalankan mobil. Hal itu memang saya abaikan karena saya sengaja menyusuri lajur kiri sejak mulai menjalankan mobil. Tujuannya untuk memudahkan mobil berbelok ke kiri sesuai lintasan ujian (lihat Gambar 2). Terlepas dari hal tersebut, seharusnya pengemudi memberitahukan kepada sekeliling bahwa mobil akan mulai berjalan dengan memberikan tanda berupa lampu sen sambil memastikan keamanan sisi kiri dan kanan.
Ujian praktek ketiga dilakukan setelah selang hampir dua bulan, mungkin karena libur tahun baru. Tanpa diisi dengan latihan menyetir sama sekali, saya merasa kaku walaupun akhirnya berhasil menyelesaikan rute tanpa kendala. Kali ini, nasehat diberikan karena dua hal. Pertama, ketika saya menutup lajur kiri (atau kanan) sebelum berbelok, ruang yang tersisa masih cukup lebar untuk dimasuki sepeda motor (Gambar 6). Kedua, saya menggerakan mobil ke kiri (atau ke kanan), padahal lampu sen belum menyala selama tiga detik. Aturannya adalah lampu sen dinyalakan tiga detik sebelum belok atau pindah lajur, namun untuk ujian ini pernyataan yang lebih tepat menurut saya adalah jangan belok atau pindah lajur sebelum lampu sen menyala selama tiga detik. Saya perkirakan ritmenya kira-kira seperti ini: lihat spion tengah, nyalakan lampu sen, detik pertama lihat spion samping, detik kedua menoleh untuk memastikan titik buta, detik ketiga belokkan kendaraan.
Tiga minggu kemudian, ujian praktek keempat dilangsungkan dalam keadaan salju turun. Ini adalah pengalaman pertama saya mengemudi di tengah turunnya salju, sembari menghibur diri. Nasehat yang diberikan oleh polisi kali ini adalah berhati-hati dengan dimensi mobil ketika berbelok. Saya sempat menghentikan mobil karena ban belakang mengenai batas jalan ketika berbelok kiri di tikungan akhir, terutama karena saya terlalu dekat dengan batas jalan akibat berupaya menutup lajur kiri sebelum berbelok berdasarkan nasehat pada ujian sebelumnya.
Saya adalah peserta terakhir pada sesi pagi itu. Peserta lainnya sudah meninggalkan tempat ujian ketika saya masih berputar-putar di lintasan ujian, Setelah pamit kepada polisi penguji, saya kembali ke ruang resepsionis yang sepi. Petugas di resepsionis kemudian memanggil nama saya, dan memberitahukan bahwa saya lulus ujian praktek. Saya dipersilahkan menunggu untuk proses pengambilan foto dan pencetakan SIM. Siang hari itu juga dompet saya ketambahan penghuni baru: SIM Jepang. Ia tidak lagi mistis.