“Kuliah di Jepang saja! Nggak repot kemah di depan ruang dosen, nggak repot ngurus menu makanan sebelum ujian.”
Kalimat di atas adalah salah satu candaan-serius yang pernah saya lontarkan kepada salah seorang civitas akademika untuk mendorongnya kuliah ke negeri yang lebih “timur”. Serius karena klausa terakhir di kalimat tersebut terinspirasi dari pemandangan mahasiswa yang menyediakan makanan untuk dosen penguji di ruang sidang. Kuantitas dan kualitas sajiannya pun berifat progresif menurut jenjang pendidikan yang ditempuh: sarjana, magister, dan doktor. Sepele memang, tapi isu ini bisa memecah kolega dosen menjadi dua kubu: pro-sajian dan kontra-sajian. Segudang argumen dilontarkan.
Salah satu amunisi kubu kontra-sajian adalah mengaitkan sajian tersebut dengan istilah gratifikasi yang kebetulan sedang naik daun mengiringi sepak-terjang pemberantasan korupsi. Berdasarkan Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 yang mengartikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, maka sajian yang diberikan mahasiswa kepada dosen saat ujian tentu termasuk gratifikasi. Tapi tunggu dulu, makna gratifikasi sebenarnya bernuansa netral, tidak bermakna tercela dan ilegal. Pasal tersebut juga jelas membedakan antara gratifikasi dan suap. Yang menjadi masalah adalah gratifikasi saat ini berkonotasi kuat dengan suap, sehingga istilah gratifikasi secara umum membawa makna negatif. Terusik dengan citra negatif tersebut, sewajarnya kubu pro-sajian tidak berkenan apabila nasi bungkus karton yang dibawa mahasiswa dikait-kaitkan dengan kata gratifikasi. Suatu pemberian dapat mempengaruhi emosi penerimanya, itu manusiawi; tapi seberapa kuat pengaruhnya terhadap hasil ujian adalah pertanyaan yang sulit dijawab secara eksak. Dilihat dari realita sosial, istilah gratifikasi yang berkonotasi dengan citra negatif rasanya terlalu sinis untuk disematkan pada barang habis telan yang harganya tidak sampai tujuh digit. Namun hukum tidak pandang bulu, karena pasal yang sama menjelaskan bahwa pemberian yang nilainya di bawah Rp 10 juta pun juga bisa diperkarakan sebagai suap. Ditambah lagi, jika kita baca contoh-contoh gratifikasi yang dinilai ilegal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam buku saku tentang gratifikasi, jelaslah bahwa KPK ternyata lebih garang dalam menilai gratifikasi daripada yang diperkirakan oleh masyarakat umum.
Kubu pro-sajian ada yang menyebut sajian tersebut dengan istilah berkat, yaitu makanan yang dibawa pulang selepas kenduri atau syukuran. Kenduri, yang dipraktekkan sejak zaman dahulu, pada dasarnya bertujuan untuk memohon kelancaran atas suatu prosesi atau syukuran atas suatu kejadian baik. Kalau makanan tersebut merupakan berkat, dan berkat adalah makanan dalam kenduri, maka pertanyaan susulannya adalah kapan kenduri dilangsungkan? Kalau dilangsungkan pada saat ujian untuk memohon kelancaran dengan memberi makanan kepada penguji, maka ini akan kembali pada bahasan mengenai gratifikasi. Kalau sebagai syukuran, maka ini mirip dengan sujud syukur oleh pasangan capres-cawapres yang dilangsungkan sebelum hasil real-count diketahui. Mungkin mahasiswa punya quick count yang dapat menunjukkan bahwa dirinya akan lulus sebelum ujian dilangsungkan? Ada juga yang menyebutnya sebagai sedekah. Ini tepat apabila dosen menggolongkan dirinya sebagai proletariat, karena tidak elok golongan bourgeoisie menerima sedekah. Meskipun demikian, sejatinya sedekah adalah sukarela. Sajian tidak bisa dikategorikan sedekah apabila ada tekanan yang mengharuskan mahasiswa untuk menyediakannya. Apalagi jika tekanan tersebut berupa urusan berbelit panjang yang akhirnya mengaitkan urusan sedekah dengan urusan akademik.
Kubu kontra-sajian bisa melihat dari persepsi kehati-hatian dan jaminan profesionalisme, sedangkan kubu pro-sajian bisa melihat dari persepsi sosial-budaya. Tidak ada yang salah dengan keduanya, asalkan konsisten. Kubu kontra-sajian yang melihat dari persepsi kehati-hatian, sejatinya konsisten berhati-hati dan konsisten tidak menerima sajian. Kubu pro-sajian yang melihat dari realita sosial, sejatinya harus konsisten membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara nasi bungkus dengan kelancaran proses akademik.
Lain pendapat dosen, lain pula pendapat mahasiswa. Adakah mahasiswa yang sengaja ingin makan-bersama dosen penguji saat ujian? Jawabannya bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa sajian adalah taktik untuk membuat dosen penguji mengantuk setelah perutnya terisi. Ada juga yang menyebut sajian tersebut dengan istilah “sesajen”. Saya berpikir, kenapa mereka menggunakan istilah “sesajen”? Mungkin karena ada yang murka ketika mahasiswa tidak mempersembahkan “sesajen” …