“…. Tidak ada informasi yang meyakinkan mengenai pengalaman manusia setelah kematian. Saat saya naik ke kelas VI SD, Ibu membawa saya ke sekolah baru. Sekolah tersebut sangat kecil, lapangannya sempit, ruang kelas hanya empat. Saya protes dan menolak masuk sekolah tersebut. Sayang, anak kecil tidak berdaya. Namun, siapa sangka SD tersebut menjadi SD terbaik dalam hidup saya. Betapa bodohnya saya yang dulu menolak masuk SD tersebut. Apakah saya akan mengulangi kebodohan yang sama di hadapan kematian?”
Penggalan di atas adalah bait terakhir dalam artikel yang saya tulis lebih dari satu dekade silam. Artikel itu dimotivasi oleh angka kematian akibat tsunami di tanah Aceh. Tetapi tulisan di bawah ini bukan untuk mengurai kematian, melainkan tentang kehidupan sekolah dasar yang saya lalui. Kehidupan sekolah yang dinarasikan dari ingatan seseorang di masa kecil, bukan uraian teori pendidikan dari seorang pakar pendidikan anak-anak. Jadi tolong jangan dilaporkan dengan delik perbuatan tak menyenangkan.
Saya menjalani pendidikan SD dua tahun di Sebulu, sebuah desa di pinggiran sungai yang terletak di pedalaman pulau Kalimantan; dan empat tahun selanjutnya di Jakarta. Walaupun masa dua tahun di Sebulu masih tergambar di ingatan, saya masih terlalu kecil untuk mencerna kehidupan sekolah. Saya ingin menguraikan kehidupan empat tahun terakhir saya di sekolah dasar, tepatnya dimulai saat kelas tiga caturwulan dua, ketika Ibu membawa saya pindah ke Jakarta.
Medan tempur
Saya disekolahkan di salah satu sekolah swasta besar di daerah Jembatan Lima. Besar dari segi ukuran bangunan, dan besar dari segi jumlah siswa. Bagaimana tidak, sekolah itu memuat TK-SD-SMP-SMA dalam satu tanah yang luas. Mengitari sekolah megah tersebut adalah perkampungan kumuh dan kotor yang terhubung dengan sejumlah gang sempit tanpa aspal. Tanah di pinggiran gang-gang tersebut umumnya digali seadanya untuk selokan, tanpa semen, dan tidak jarang ada tinja yang hanyut di selokan mini tersebut. Gang-gang tersebut seperti labirin yang menghubungkan sekolah dengan rumah saya melalui berbagai jalur. Kawasan kumuh itu dihuni oleh mayoritas Pribumi dan minoritas keturunan Tionghoa. Entah apa sebabnya, di gang tempat saya tinggal, nyaris semua kepala keluarga adalah warga Tionghoa. Ada tiga keluarga yang mengusaha garmen, satu keluarga mengusaha sablon, dan sisanya tidak saya kenal. Keluar gang tersebut, tengok kiri-kanan, yang terlihat adalah mayoritas pemukiman warga Pribumi. Meskipun warga pribumi adalah mayoritas, saya ingat jelas bahwa sebagian besar siswa di sekolah megah tadi adalah anak keturunan Tionghoa. Secara alami saya bergaul dengan anak-anak keturunan Tionghoa. Perjalanan ke sekolah biasa ditempuh dalam waktu 10-15 menit berjalan kaki, sendiri.
Ruang kelas yang saya masuki pada hari pertama di sekolah tersebut terkesan luas namun kurang pencahayaan. Kelas tiga terdiri dari beberapa kelas paralel, dan setiap kelas terdiri dari 30-40 siswa. Setiap mata pelajaran diasuh oleh guru yang berbeda. Pelajaran bahasa Inggris dimulai dengan kosa-kata yang rumit, dan sang guru dengan lembut mengatakan kepada saya bahwa di sekolah ini pelajaran bahasa Inggris diberikan sejak TK. Ada gap yang lebar antara mata pelajaran yang disampaikan di kelas 3 SD pedalaman Kalimantan dengan kelas 3 SD yang saya lalui saat itu. Selain itu, ada norma tambahan dan tidak tertulis yang diketahui dan dipatuhi oleh setiap peserta didik. Salah satunya adalah tiap mata pelajaran wajib disertai tiga buku tulis: pekerjaan sekolah, pekerjaan rumah, dan catatan. Jika ada 7 mata pelajaran, berarti ada 21 buku tulis yang menyertainya. Tiap hari mata pelajaran berganti, dan ketinggalan salah satu buku dapat berakibat jatuhnya hukuman. Ditambah lagi dengan mata pelajaran menulis indah mengharuskan siswa membawa buku, botol tinta, dan pena khusus yang mudah sekali tertinggal. Norma lainnya adalah setiap pekerjaan sekolah yang belum selesai dibahas, secara otomatis menjadi pekerjaan rumah yang wajib dikumpulkan pada keesokan harinya. Lalai mematuhi norma-norma tersebut berakibat pada hukuman verbal maupun fisik. Guru memarahi siswa adalah pemandangan keseharian. Sekolah dasar menjadi medan perang bagi bocah ingusan untuk mempertahankan nilai dan menghindari amarah guru.
Seminggu di sekolah tersebut membuat saya tertekan. Meme di media sosial yang semi-delusional memamerkan generasi 80-an sebagai generasi bahagia dengan segala mainan jadulnya sama sekali tidak relevan dengan kondisi saya. Ibu tidak tega dan memindahkan saya ke SD negeri terdekat. Ketika ayah-tiri mengetahuinya, ia marah besar. Ia mengatakan sudah menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk memasukkan saya ke sekolah swasta besar sebelumnya. Ratusan ribu rupiah tentu bukan jumlah yang kecil di masa sebungkus Indomie hanya berharga seratus perak. Tidak ada yang istimewa dari SD negeri yang baru, selain saya berteman dengan anak-anak berkulit gelap yang sering disebut sebagai fan gui ketika saya berkumpul bersama anak-anak Tionghoa. Sebenarnya kami juga tidak paham makna sebutan itu. Di mata anak kecil seperti kami, sebutan itu seperti pop-culture yang diikuti tanpa perlu memakai otak. Salah satu dari teman fan gui saya bernama Jahe, dan ia menendang saya ketika saya mengejeknya dengan sebutan jahe-kunyit. Saya menyelesaikan dua caturwulan di sekolah dasar negeri tersebut dengan datar, sementara ayah-tiri secara rutin memberikan doktrin mengenai rendahnya kualitas SD Negeri.
Naik ke kelas IV, saya dikembalikan ke sekolah swasta besar sebelumnya. Namun kali ini saya bertekad untuk menjadi survivor di tengah medan perang. Pernah saya bersuka cita ketika jatuh sakit, karena itu artinya saya tidak perlu masuk sekolah. Nilai ulangan saya kebakaran. Aksi Nobita yang menyembunyikan nilai ulangan dari Ibu-nya adalah hal yang mustahil di sekolah ini, karena setiap ulangan yang bernilai jelek wajib ditandatangani oleh orang tua dan diserahkan kembali ke guru. Ulangan yang bernilai bagus tidak perlu ditandatangani orang tua, artinya orang tua tidak tahu pun tidak apa-apa. Kehidupan memang tidak mutlak simetris. Pernah ada yang mencoba membubuhkan tanda-tangan pembantu rumahnya, namun sang guru sudah terlatih untuk mengantisipasinya. Ayah-tiri saya tidak mau menandatangani kertas ulangan saya dengan alasan malu, sehingga Ibu yang selalu membubuhkan tanda-tangannya. Mungkin karena sering melihat tanda-tangan Ibu di kertas ulangan, tanda tangan saya menjadi mirip dengan Ibu. Meskipun nilai ulangan kebakaran, saya tidak pernah sekali pun mencontek, bekerjasama, atau melakukan tindakan curang.
Seorang penguasa ditaati oleh rakyatnya bisa karena dua sebab: dicintai atau ditakuti. Demikian juga dengan guru. Ambil contoh guru matematika saat itu. Penampilannya seksi, bibirnya dibalut lipstik merah menyala, tatapannya dingin, dan gemar menjewer telinga siswa. Toh menjewer adalah hal yang umum di zaman itu. Teman di samping saya pernah dijewer telinganya karena tidak bisa menjawab. Ketika siswa di sekitarnya memberitahukan bahwa ada darah mengalir di telinga teman yang baru dijewer tersebut, terlihat kepanikan di wajah sang guru sembari ia mencari kertas tisu serta kapas. Sambil menghentikan pendarahan di telinga siswa tersebut, sang guru terus mengomel karena ketidakbecusan siswa tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa ini. Tidak, saya tidak mendengar kata maaf. Sejak insiden itu, sang guru kelihatannya jera menjewer telinga. Selanjutnya ia selalu masuk membawa penggaris kayu ukuran satu meter. Penggaris itu berfungsi ganda, untuk menggambar geometri bangun datar di papan tulis, dan untuk memukul telapak tangan siswa yang melakukan kesalahan. Teknisnya begini, siswa diminta menengadahkan salah satu telapak tangannya untuk diletakkan di atas telapak tangan kiri sang guru, dan kemudian sang guru mengayunkan penggaris kayu besar memukul telapak tangan siswa, berulang-ulang. Jumlah pukulan sebanding dengan porsi kesalahan siswa. Suara penggaris kayu yang menghantam telapak tangan terdengar keras memenuhi seisi kelas, persis seperti efek suara cambuk mengenai tubuh yang digunakan dalam film-film kungfu tahun 1980-an. Kali ini tidak ada darah, hanya ada telapak tangan yang memerah panas, disertai tangisan bocah-bocah yang tidak tahan sakit. Rasa takut menjadi motor penggerak.
Interaksi antar guru dan siswa hanya sebatas ruang kelas. Guru sekolah tersebut adalah tenaga pengajar profesional sejati: mereka bertugas untuk mengajar, titik. Ketika guru melemparkan pertanyaan, awalnya saya senantiasa menjadi anak pertama yang mengacungkan jari untuk menjawab. Siswa yang baik selalu digambarkan mengacungkan jari. Namun, hampir setiap kali pula jawaban saya ditolak sang guru dan hanya mengundang tawa dari teman-teman lain. Dalam penolakan tersebut, tidak terasa sebutir apresiasi. Saya berpikir, tentu guru hanya perlu jawaban yang benar, dan murid seperti saya lebih patut diam. Setelah beberapa bulan, saya pun berhenti mengacungkan jari. Saya menjadi pendengar yang baik, sama seperti kebanyakan siswa lainnya. Kalau seorang anak terus-menerus dikatakan bodoh, mungkin suatu saat anak tersebut akan percaya dan menerima hal tersebut sebagai kebenaran.
Kelas saya kedatangan seorang siswa pindahan dari Pontianak. Ia cerdas, berkulit gelap, dan sempat rangking satu kelas, walaupun tidak langganan. Kami duduk bersebelahan. Suatu kali seorang guru membagikan hasil ulangan dan mempersilahkan siswa memprotes apabila ada penilaian jawaban yang keliru. Saya dan kebanyakan siswa tidak tahu jawaban yang benar, jadi untuk apa protes. Kami asyik bercanda sendiri dan suasana kelas menjadi riuh. Teman saya tersebut maju membawa hasil ulangannya dan berbicara dengan sang guru. Saya tidak bisa mendengar apa yang ia bicarakan karena saya duduk jauh di belakang. Kemudian saya melihat teman tersebut membalik badan, menggenggam hasil ulangannya, sambil menangis. Ia kembali duduk di sebelah saya dan meneruskan tangisannya. Saya tidak tahu apa yang terjadi dan tidak tahu harus berbicara apa. Saya lihat kertas ulangannya … nilainya diturunkan! Di kesempatan berikutnya, sang guru kembali membagikan hasil ulangan dan mempersilahkan siswa memprotes penilaian jawaban. Saya melirik ke teman sebelah saya, dan ia mengatakan tidak akan pernah protes lagi. Kami tertawa. Tertawa karena kami tidak akan tertipu dua kali, tertipu oleh seorang guru.
SD Angela
Naik ke kelas VI, Ibu berpisah dengan ayah-tiri. Kami pindah ke daerah Cengkareng dan menempati kontrakan rumah sangat sederhana. Ibu membawa saya ke sekolah swasta baru. Dari luar, sekolah itu terlihat tidak memiliki bangunan, hanya tembok beton dengan satu pintu kecil. Pemandangan pertama di dalam adalah sebuah lapangan sempit. Di sekeliling lapangan ada empat ruang kelas kecil. Luas sekolah ini tidak lebih dari sepetak lapangan bermain benteng yang ada di pojok bangunan SD swasta yang dulu. Bagi saya saat itu sekolah dasar adalah medan perang untuk menjalani hari yang sulit. Lantas kenapa beban itu ditambah lagi dengan ukuran sekolah yang sempit? Bayangkan sesaknya kalau ada 30-40 siswa per kelas dan semuanya berhambur ke lapangan ini! Saya spontan mengatakan tidak mau bersekolah di sini.
Suara anak kecil agaknya sukar dipandang sebagai opini yang berbobot. Anak kecil juga tidak berdaya melawan orang tua. Ibu tetap menarik tangan saya untuk belok ke kanan. Di ujung lapangan ada dua ayunan dan satu perosotan yang dicat warna-warni. Dinding-luar kelas pun warna-warni dan diberi gambar hewan lucu seperti bebek. Kalau atmosfer di SD sebelumnya adalah suram, atmosfer di SD ini adalah … TK. Ibu membawa saya ke ruang kepala sekolah. Ruang itu pun sangat sempit. Kami duduk berhadapan dengan wanita separuh baya. Ia tidak memperkenalkan namanya kepada saya. Di sebelahnya ada seorang pria yang juga paruh baya. Saya tidak tahu mana yang kepala sekolah, namun saya menebak wanita itu lah kepala sekolahnya. Belakangan saya mengetahui bahwa kepala sekolah itu bernama Kurniawati Janto. Ibu memperkenalkan dan mendeskripsikan saya sebagai anak yang nakal, entah serius atau bercanda. Wanita tersebut berkata bahwa nakal tidak masalah asalkan mau belajar.
Sekolah itu bernama TK-SD Angela. Bagaimana mungkin menyelenggarakan TK-SD dengan empat ruang kelas? Jawabannya, TK dan SD kelas 1-3 masuk pagi, sedangkan SD kelas 4-6 masuk siang. Hore! Setidaknya saya bisa bangun siang. Selain putih-merah, sekolah ini juga menggunakan seragam putih-biru yang membuat para bocah di sekolah ini terlihat seperti anak SMP di hari-hari tertentu.
Hari pertama masuk di kelas VI, saya duduk bersama siswa lain yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Belakangan saya baru mengetahui bahwa kelas VI hanya terdiri dari 11 siswa! Ruang kelas pun terasa luas dengan jumlah meja melebihi jumlah siswa. Di samping meja guru terdapat lemari tempat kami meletakkan buku RPUL dan RPAL yang menjadi kitab suci dalam mata pelajaran IPS dan IPA. Orang mungkin memandang iba melihat sekolah yang kelasnya hanya diisi oleh 11 siswa. Tapi, bagi saya itu adalah sebuah kemewahan, suatu luxury. Kalau SD sebelumnya menggunakan bel digital dengan suara radio untuk menjangkau seluruh sekolah, SD ini mengandalkan seorang penjaga sekolah untuk memukul sebuah lonceng logam sebagai penanda waktu. Guru yang pertama kali masuk adalah seorang pria, muda, kurus, berpenampilan rapi dengan senyum yang lebar. Guru ini juga yang seterusnya mengajari dan mendampingi kami, karena di sekolah ini seorang guru kelas memegang semua mata pelajaran. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Pak Frans. Di rapor saya, namanya tertulis sebagai F.X. Suroto. Pak Frans mengidentifikasi saya sebagai siswa pindahan, dan mempersilahkan saya keluar kelas terlebih dahulu saat jam pulang. Saya berdiri memanggul tas ransel, berjalan keluar kelas, namun langkah saya terhenti ketika beliau mengulurkan tangannya. Sejak keluar dari pedalaman Kalimantan, mungkin ini pertama kalinya saya mencium tangan seorang guru. Beliau kemudian berkata, “Belajar yang rajin di rumah ya”. Saya tidak tahu mengapa saya merasa begitu senang. Mungkin karena saya merasa dihargai sebagai seorang siswa.
Saya kemudian merasakan bahwa kehidupan sekolah seorang anak dipengaruhi oleh dua hal sentral, yaitu guru dan sistem pendidikan yang dianut. Pak Frans menjadi panutan yang mendampingi kehidupan kelas VI saya. Setiap hari Pak Frans memimpin doa di awal dan di akhir kelas. Setiap hari juga Pak Frans mengatakan, “Belajar yang rajin di rumah ya,” satu per satu kepada kami ketika bel pulang usai dibunyikan. Kami pernah mencoba menggoda Pak Frans dengan guru kelas IV yang cantik, tapi kelihatannya Pak Frans tidak menyukai candaan kami. Sesekali Pak Frans marah, namun ada perbedaan yang tidak bisa saya deskripsikan tentang marahnya Pak Frans dengan marahnya guru-guru di sekolah saya sebelumnya. Yang jelas, tindakan kami pasti lah sudah keterlaluan apabila beliau marah. Tetapi Pak Frans tidak menebar rasa takut. Kepatuhan kami terhadap Pak Frans jelas bukan dari rasa takut, karena kami tidak takut dengan Pak Frans. Di SD Angela pula pertama kalinya saya menjalani tes IQ. Saya tertawa kecil ketika melihat soal-soalnya. Beberapa minggu kemudian kepala sekolah memanggil saya. Ia menyampaikan bahwa nilai IQ saya tertinggi di sekolah itu, kemudian mencecar, “Tapi kenapa kamu ada di rangking buntut di kelas?” Jawaban saya simpel, “Tidak tahu.” Makhluk apa pula yang bernama IQ itu.
Norma-norma di SD swasta sebelumnya tidak berlaku di sini. Belenggu itu terasa lepas dan sekolah bukan lagi beban. Saya bisa mengingat nama semua teman kelas yang jumlahnya sama dengan jumlah jari tangan, dan saya terus mengingatnya hingga hari tulisan ini dibuat: Edwar Hakim, Ernest Tumbelaka, Loren, Lilyana, Luwi Puspita Dewi Harapan Utami Sarwa Adi, Maria Theresia, Noviyanti Cendana, Renita Pranajaya, Sandy Fadli Hermanto, dan Silvy Kurniawan. Sekolah ini memberikan banyak kenangan bermain. Jam olahraga diisi dengan SKJ 92 dan permainan Galasin (Gobak Sodor). Beberapa kali saya menyaksikan Pak Frans beradu panco (arm wrestling) dengan teman sekelas saya, Ernest, yang tentu saja tidak berpeluang menang. Entah mengapa, dalam setahun ada tiga kali acara memasak bersama di sekolah. Kelas kami berlatih drama dan tari, walaupun akhirnya batal tampil pada hari perayaan. Cinta monyet juga bertebaran di sekolah ini. Ada siswa adik tingkat mengirimkan surat cinta ke siswi kakak tingkat. Bahkan saya pernah menerima surat teguran dari adik tingkat karena terlihat dekat dengan salah satu siswi sekelas yang ia taksir. Tidak dipungkiri, cinta monyet pertama saya juga ada di sekolah ini.
Dalam dokumen riwayat hidup seseorang, biasanya riwayat pendidikan hanya mencantumkan nama sekolah terakhir yang diakui sebagai alma mater. Menuliskan SD Angela di kolom riwayat pendidikan sekolah dasar merupakan suatu keberuntungan sekaligus kehormatan bagi saya.